Ng-alam

Dulu pas masih seneng-senengnya naik gunung, bisa sebulan satu atau dua kali naik. Pertama kali naik gunung kalau tidak salah medio 2001. Sabtu sore pulang sekolah berangkat dengan sepeda motor, sampai basecamp malam hari. Istirahat sejenak lalu tancap gas menuju puncak. Esok siang atau sore sudah ada di basecamp lagi.

Awal-awal naik gunung, gak terlalu memperhatikan style alias gaya. Bahkan naek gunung masih dengan celana seragam abu-abu dan sandal jepit swallow pun pernah. Makan juga cuma indomie sarden udah cukup. Baru mikir kalau naik gunung itu juga perlu style setelah ketemu pendaki seorang diri dari Bandung yang gabung rombongan kami. Tahun 2002 Gunung Slamet kalau gak salah. Memang bener kata dia. Naik gunung itu harus “nyetil” istilah jogjanya. Biar enak dipandang. Butuh juga bekal2 yg asyik, biar enjoy dan tetap sehat di gunung. Akhirnya semenjak itu, “aib” bagi kami naek gunung nggak pakai celana lapangan. Apalagi sandal swallow. Bekal pun tak hanya indomie sarden. Telor, tempe, sayur mayur, bawang, cabe, keju, coklat, bahkan tepung terigu buat bikin pancake di gunung pun kami bawa. Makan sop sayur hangat dengan lauk tempe goreng dan pancake sebagai hidangan penutup, udah jadi hal biasa sejak itu. Tahun segitu belum banyak bumbu-bumbu instan, brader. Belum banyak pilihan lauk pauk instan yang diawetkan. Jadi bener2 serasa membawa makanan rumahan fresh ke gunung.

Meski saat itu senang bermain di alam, tak pernah terbayang kalau kelak kemudian bakalan kerja di tempat yang erat kaitannya dengan pemandangan alam yang asyik buat cuci mata.

Continue reading