“Ilmu mereka berkah” (kisah penuh keteladanan tentang ketawadhuan para ustadz)

ilmu-padi-tawadhu.jpg

Suatu ketika saya menghadiri kajian rutin di rumah salah seorang ustadz saya sekitaran Sidoarjo kota. Selepas kajian, ada jamaah yang membawa nasi uduk empal dan es cao. Sementara menunggu sajian disiapkan, Al Ustadz bercerita kesana kemari. Memang momen seperti ini yang saya gemari. Karena situasinya ngobrol santai, sering kali ustadz memberi kisah berfaedah yang mungkin tak tersampaikan saat kajian.

Seperti pada siang itu. Beliau berkisah mengenai ketawadhu’an para ustadz yang mungkin menjadi sebab keberkahan ilmu mereka. Saya akan coba tuliskan kisah mereka tanpa menyebut nama. Karena saya khawatir para ustadz yang dimaksud tidak berkenan kisahnya dipublikasikan ke internet. Di samping itu, menghindari kekaguman berlebih-lebihan. Meningat mereka semua masih hidup. Sedangkan kita dinasehatkan untuk tidak terlalu ghulluw dalam mengidolakan orang yang masih hidup. Karena orang hidup masih mungkin terjerembab dalam kesalahan.

Pertama, beliau berkisah tentang seorang ustadz kibar yang memiliki kebiasan membaca berjam-jam, bahkan infonya beliau bisa menghabiskan 12 jam untuk membaca. Kisah semakin mengagumkan ketika ustadz saya tersebut bercerita bahwa ustadz kibar tersebut tidak mau mengambil royalti dari buku yang ditulisnya. Padahal tak sedikit karya beliau yang laris manis. Royalti dari buku tersebut diberikan ke pondok pesantren binaannya dan dibagi-bagikan ke ustadz-ustadz muda. Beliau sendiri memilih mencari uang dengan cara berdagang.

Masih seputar hobi membaca, kisah kedua tentang ustadz kibar lainnya. Pada saat ustadz saya menemani ustadz kibar tersebut saat di Surabaya, ustadz kibar tersebut berkata kalau dia malah bisa stress kalau nggak baca kitab. (Lha kita? malah stress kalau disuruh baca kitab… hehehe).

Kemudian beliau berkisah tentang ustadz senior yang tinggal di Jawa Timur. Ustadz senior ini dulu dari keluarga miskin. Pada saat beliau mondok, karena tidak punya uang untuk beli kitab, beliau menyalin semua isi kitab yang sedang beliau pelajari. Ditulis dengan tangan. Maasyaallah. Ustadz senior ini sering mendapat uang dari panitia kajian yang diampunya. Dalam sebulan bisa sampai lima belas jutaan. Dari uang itu, hanya diambil 300 atau 400ribu untuk biaya hidup beliau sekeluarga dan sisanya diserahkan untuk pengelolaan pondok pesantren yang diasuhnya. Sering juga diberikan kepada ustadz-ustadz muda.  Banyak ustadz bermanhaj salaf yang sekarang mempunyai pondok pesantren di indonesia ini dulu pernah menjadi murid ustadz senior ini, kata ustadz saya itu. Sampai-sampai ada guyonan di kalangan mereka, belum sampai ke Jawa Timur kalau belum mengunjungi pondok pesantren yang diasuh ustadz senior tadi.

Lalu ada kisah tentang seorang ustadz yang usianya mungkin empat puluhan. Ustadz ini ikut mengajar di pondok pesantren milik ustadz senior yang saya ceritakan sebelunya. Ustadz ini, sebut saja Ustadz AS, sebenarnya berlatar belakang dari keluarga kaya. Termasuk anggota keluarga dari keluarga besar yang memiliki yayasan islam dan bisnis cukup besar di kotanya. Tapi, ustadz AS ini memilih mobil yang sederhana sebagai kendaraannya. Belum lagi rumahnya yang tak terlalu luas. Bahkan gaji mengajarnya “cuma” 400-500ribuan.  Tentu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Maka dari itu, beliau dan beberapa ustadz di pondok pesantren tempat beliau mengajar nyambi jualan disela-sela waktunya. Dan menurut ustadz saya, ustadz AS ini “cuma” lulusan pondok pesantren dalam negeri dan lulusan LIPIA namun kepandaiannya layaknya lulusan-lulusan Universitas Islam Madinah. Ketika beliau mengajar juga enak dalam menjelaskan. Ilmunya luas.

Ustadz saya berkisah lagi tentang seorang lulusan S1 Universitas Islam Madinah namun kepandaiannya sekelas doktor. Orangnya baik, rendah hati dan suka memberi uang kepada mahasiswanya untuk membantu kelancaran belajar. Meski ketika di mimbar, beliau ini tegas dan tanpa basa basi.

Itulah para ustadz yang tawadhu. Mungkin masih banyak kisah tentang ketawadhuan mereka atau ustadz semisal mereka. “Itulah yang menyebabkan ilmu mereka berkah. Karena mereka ikhlas mengajar. Tidak seperti ustadz komersil yang mengundang mereka saja harus sedia puluhan juta. Ilmu mereka gak berkah,” kata ustadz saya.

Lalu, kita ada di mana dibanding mereka para ustadz tawadhu itu? Tak perlu jauh-jauh membandingkan dengan ketawadhuan para salaf. Dibandingkan dengan mereka saja mungkin kita masih jauh sekali.

(Saya sadur dari cerita ustadz saya dengan penyesuaian bahasa tanpa merubah makna)

Surabaya, 6 Maret 2019

Leave a comment