Hari-hari bersamanya (1)

“Kenangan tiga belas hari pasien terkonfirmasi positif Covid 19”

Tiga belas hari ini terhitung sejak hasil swab pertama saya keluar. Kalau dihitung sejak si unyil covid 19 bersarang di tubuh ya entah berapa hari. Benernya ini late post sih. Karena saya sudah Negatif sebulan lalu. Maklum, memang passion saya menulis mulai memudar (hueek), akhirnya baru sekarang terpublish.

Pada dasarnya sejak awal pandemi saya tidak terlalu parno dengan Covid19 (tapi tetap menjaga protokol loh), namun tetep saja deg deg ser ketika akhirnya di-mention sebagai salah satu yang kontak erat dengan pasien terkonfirmasi dan harus swab. Oh meen… Oke..Fine.. Tarik nafas dan keluarkan perlahan…

Akhirnya hari S tiba juga.

Hari S maksudnya hari nge-Swab. Istilah saya sendiri sih…hehe…Tak perlu antri lama hingga akhirnya mulut dan hidung saya dimasuki benda tumpul seperti cotton bud. Ternyata prosesnya tidak lama loh.. Cuma sebentar. Rasanya seperti disogrok gitu dan diakhiri momen mengharukan alias keluar air mata..huhuhu..

Saya memang udah feeling, kok kayaknya bau-bau bakal positip. Karena pas hari S tadi tenggorokan saya agak serik dan berlendir. Bahkan saya sudah menyiapkan daftar tracing kontak erat 14 hari terakhir. Supaya kalau udah beneran positip langsung lapor ke pihak terkait siapa saja yang kontak erat dengan saya beberapa hari terakhir. Supaya mereka juga segera di-swab gitu maksudnya.

Karena otak saya sudah saya siapkan kalau kondisi benar-benar positip, jadi di hari besoknya saya nggak terlalu deg deg ser. Saya Work From Home (WFH) seperti biasa. Buka laptop, cek kerjaan dan lainnya. Pagi itu belum dapat info hasil. Hingga sekitar jam 9 saya dikontak pihak terkait yang memberitahu kalau saya positip. Ea ea ea ea…hokya hokya….Ya sudah nggak apa-apalah. Karena memang sudah feeling, ya nggak terlalu kaget.

Oke deh sip.. Setelah dapat komando dari pihak terkait, saya langsung meluncur ke RS tempat saya swab. Sudah sekalian bawa baju buat boyongan isolasi mandiri. Udah kayak si Midun mau merantau ke negeri seberang. Bawaannya banyak. Sesampainya di RS diarahkan ke IGD khusus pasien terkonfirmasi. Bentuknya tenda. Sempat terbayang bakal kegerahan di dalamnya, eh ternyata adem loh. Ada beberapa AC besar. Sempet ngantuk juga disitu saking nyamannya…muehehe…

Di situ saya diobservasi, ditanya apa ada gejala dan lain-lainnya. Lalu saya diminta menunggu beberapa jam untuk disiapkan obat dan koordinasi dengan hotel tempat isolasi mandiri (isoman). Yup.. Di hotel…Saya sudah dapat bocoran dari rekan kantor yang sebelumnya sudah isoman di hotel rujukan RS tersebut. Katanya bagi yang tak bergejala atau bergejala ringan, isomannya di hotel. Tentu isomannya sudah include Ishoma ya alias istirahat, sholat, dan makan… hehe

Sembari menunggu saya tolah toleh sekitaran di dalam tenda. Ada ibu ibu yang rebahan di kasur sambil menahan sakit. Didampingi laki-laki disampingnya yang kayaknya suaminya. Dalam hati masih bersyukur saya tidak bergejala atau mungkin cuma gejala ringan. Kadang heran juga sama orang yang berpikiran bahwa covid itu tidak ada. Lha wong nyatanya yang terkapar karena covid juga banyak. Ya sudah lah, nggak perlu memperpanjang membahas itu. Nggak bakal ada ujungnya, seperti fanatis bumi datar debat sama fanatis bumi bulat. Nggak kelar-kelar.

Sekitar jam 5 sore saya sudah dipersilakan ke hotel untuk check in. Sesampainya di hotel saya check in di resepsionis layaknya pengunjung biasa tapi menyebutkan kalau saya dirujuk dari RS. Mbak resepsionisnya menyerahkan kunci sambil menjelaskan aturan main isoman di hotel tersebut. Diantaranya tidak boleh keluar kamar, makan diantar pada jam-jam tertentu, laundry pada hari selasa dan kamis, jika ada kiriman barang akan diantarkan oleh petugas ke kamar. Yess.. berarti masih bisa gofood makanan. Cihuuuy..

Saya memang udah bawa banyak “ransum” sih untuk persiapan isoman. Mulai dari habatussauda, madu, jahe merah fusion sama daun kelor, bahkan sudah nyiapin kopi sendiri…Niat banget kan..

Melihat kondisi kamarnya sih not bad lah. Sepertinya isoman akan dilalui dengan mudah kalau kondisi kamarnya seperti ini. Pikir saya waktu itu…Hihihi…

Di hari itu saya juga lapor kepada Ketua RT bahwa saya positif Covid 19. Sengaja saya laporkan supaya Ketua RT dengar langsung dari saya sendiri. Dari pada nanti dia dengar dari orang lain kan jadi nggak enak. Sebagai warga RT yang baik (cieee), saya merasa wajib lapor kepada pak RT. Selain itu juga bentuk keterbukaan saya saja sih. Sengaja nggak saya tutup-tutupin. Karena ini bukan aib. Ini sekadar penyakit biasa kayak penyakit lainnya. Dan namanya orang kena penyakit, nggak ada orang mau kena lah. Cam kan itu kisanak, mas mbak….

Karena kadang masih ada stigma kurang menyenangkan yang ditempelkan kepada pasien positif Covid. Bahkan ada yang sampai keluarganya dikucilkan padahal keluarganya tidak terpapar dan kisah-kisah memilukan lainnya. Kalau mau husnudzon sih, biasanya sih perlakuan seperti itu disebabkan kekurangtahuan terkait Covid dan parno berlebihan. Jadi udah takut dan parno duluan.

Hari kedua di hotel saya masih WFH (kali ini bukan Work From Home tapi Work From Hotel :p ). Karena memang tidak ada gejala sakit kecuali tenggorokan agak berlendir saja. Jadi ya nyantai aja WFH. Sempet vicon juga dengan tim bahas project kerjaan.

Pada hari kedua itu juga teman sekamar datang jam dua-an. Orang kantor juga. Saya sudah dikasih tahu sih sehari sebelumnya kalau bakal dapat room mate. Dia cowok ya, jangan mikir aneh-aneh. Wkwkkw…Benernya dia swab justru sehari sebelum saya tapi hasilnya keluar barengan dengan saya. Dapat room mate gini enaknya jadi ada temen ngobrol. Muehehe… Ternyata setelah itu nggak cuma jadi temen ngobrol, tapi nantinya jadi temen seperjuangan psikosomatis bersama dan ng-asam lambung bersama… Hahaha..

Hari-hari pertama di hotel sih awalnya masih nyaman-nyaman saja. Lama kelamaan bosan mulai menggelayut. Lalu bagaimana nasib kami selama mendekam di kamar hotel berhari-hari?

Bosen x_x

Saking bosannya, room mate saya suka ngliatin gedung sebelah melalui jendela kamar untuk ngisi waktu. Kebetulan dari jendela kamar keliatan gedung salah satu bank. Di gedung itu terlihat dari jendelanya ada pegawainya yang masih kerja kadang sampai jam 9 malam. Kadang room mate saya ngomong sendiri “Kasihan tuh orang, kerja sampai malam terus”. Geje amat kegiatannya mantengin gedung sebelah.

Ya mau gimana lagi. Isoman seperti ini musuh utama adalah bosan dan pikiran yang kemana-mana.

Apalagi ketika menunggu hasil swab berikutnya. Memang 5-7 hari kami rutin di swab lagi. Momen menunggu hasil swab keluar itu bener-bener momen menegangkan. Pikiran udah kemana-mana. Terbayang kalau masih positip dan masih harus mendekam di dalam kamar. Padahal kalau dipikir-pikir, kamarnya nyaman, kamar mandi bersih, makan selalu bergizi, tersedia TV, AC dan lainnya. Tapi lama-lama bosan juga. Terbayang kalau hasil masih positip akhirnya harus menunggu 5-7 hari berikutnya untuk swab lagi. Apalagi kalau teringat kata suster bahwa ada pasien yang keluar setelah 40 hari mendekam di hotel. Pikiran yang kemana-mana itu membuat psikosomatis muncul. Kalau psikosomatis muncul efeknya asam lambung naik. Asam lambung naik bisa sampai bikin mual, perih di perut bahkan nggliyeng alias pening di kepala…Mueheheh…

Lalu apa aja kegiatan kami selain ngliatin gedung sebelah? Yaa cuma nonton TV, ngobrol, stretching (kalau ini sih room mate saya.. saya sih enggak..wehehe), baca buku, main hape, kadang work from hotel. Gitu terus sampai menjelang malam lalu tidur. Besoknya begitu lagi. Lusanya begitu lagi. Mantap kan? Hehehe

Selama di sana selain minum obat dan multivitamin dari RS, kami tambah juga dengan minum susu sapi yang gambarnya beruang tapi iklannya naga. Katanya orang-orang sih bisa bersihin paru-paru dari covid. Ilmiah atau enggak, Allahu a’lam. Sikat aja. Namanya juga ikhtiar. Ada yang bilang yakult juga bagu. Hajar juga deh. Namanya juga ikhtiar. Madu dihajar. Habattussauda disikat juga. Betadin Gargle pun ditenggak (tapi nggak ditelan kalau ini sih….hehe) Pokoknya ikhtiar!

Salah satu ikhtiar lainnya adalah makan diusahakan harus habis. Biar imun nggak turun. Makanan yang disediakan sih benernya lumayan. Tapi ya namanya lidah nih kadang-kadang protes sama kombinasi yang mungkin gitu-gitu aja polanya. Akhirnya kadang pasien ada yang Go Food atau dikirimin makanan sama keluarganya.

Nih saya perlihatkan penampakan makanan jatahnya. Tapi sori ya kalau beberapa fotonya udah sisa-sisa aja. Maklum, bukan foodblogger yang jago jepret sana sini. Hihihi…

Nasi+Buah (melon)+Ca Sawi+Udang Tepung+Tahu+Sambal
Nasi+Buah (melon)+Urap-urap+Tahu+Sambal
Nasi+Buah (melon)+Sayur Asem+Telur+Tahu bacem+Sambal

Enak kan sebenernya menunya? Meski kadang-kadang ada menu yang kurang nyambung kombinasinya (yaa ini menurut lidahku yaaa). Bukannya mencela makanan atau kurang bersyukur, tapi yaa kadang jenuh juga kalau pas menunya kurang sreg. Akhirnya go food menjadi solusi. Terima kasih Gojek :p (sapa tahu habis ini di-endorse Gojek …weheheh)

Sementara itu dulu deh. Udah kepanjangan nih tulisannya. Lanjut di postingan berikutnya. Cerita-cerita pas hilang indra penciuman dan kisah lainnya. Hihihi…

Surabaya, 18 November 2020

Ibnu Achmad

Leave a comment